Anggota Tim Perundingan GAM, Munawar Liza Zainal bersama Anggota DPRA, Abdullah Saleh dan Aktivis Pro Demokrasi Aceh, Wiratma Dinata serta Koordinator Kontras Aceh, Gilang Destika Lestari menjadi narasumber talkshow bersama Katahati Institute dengan tema “8 Tahun MoU Helsinski, Refleksi Perdamaian dan Kesejahteraan Aceh yang dipandu Host Hendra Syahputra di Radio Serambi FM 90,2 Mhz, Meunasah Manyang PA, Aceh Besar, Kamis (15/8).
BANDA ACEH - Meski telah berjalan delapan tahun, namun masih banyak isi MoU Helsinki yang belum terlaksana seperti hasil perundingan 15 Agustus 2005. Karena itu, perlu adanya komitmen bersama dari semua pihak di Aceh untuk mengembalikan dan melaksanakan isi MoU Helsinki sesuai kesepakatan, bukan sesuai tafsiran dan impian.
Hal itu disampaikan anggota tim perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Munawar Liza Zainal saat menjadi salah satu narasumber pada talk show bertema “Delapan Tahun MoU Helsinki, Refleksi Perdamaian dan Kesejahteraan Aceh” di Radio Serambi FM 90,2 MHz, Kamis (15/8). Talk show itu dilaksanakan Katahati Institute bekerja sama dengan Serambi FM 90,2 MHz.
Turut hadir tiga narasumber lain yaitu Anggota DPRA, Abdullah Saleh, Aktivis Pro Demokrasi Aceh, Wiratma Dinata, dan Koordinator Kontras Aceh Destika Gilang Lestari.
Menurut Munawar, MoU Helsinki adalah milik bersama yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat Aceh, bukan suatu kelompok atau satu pihak saja. “Kita berharap apapun pandangan politik kita, kita harus bersatu dan solid. Jadi para perunding Helsinki yang paham mengenai kesepakatan MoU Helsinki harus dilibatkan kembali, karena merekalah yang membuat kesepakatan itu,” jelas mantan Wali Kota Sabang ini.
Disebutkan, banyak rahasia MoU Helsinki yang tidak terlaksana dengan baik. “Misalnya MoU menciptakan kemandirian dan identitas masyarakat Aceh. Indentitas yang dimaksud bukanlah simbol, tapi kemandirian dari segi ekonomi dan budaya Aceh. Jadi identitas Aceh itu bukan lambang-lambang yang pada akhirnya kita disibukkan dengan hal itu,” katanya.
Sementara Wiratma Dinata mengatakan, Pemerintah Aceh saat ini sedang mengalami krisis orientasi terhadap tujuan pemerintahan yang sebenarnya. “Sekarang, secara sosial ekonomi dan politik kita masih punya problem yang sangat tak koheren dengan besarnya sumber daya politik maupun keuangan. Pendidikan di Aceh nomor tiga terburuk, penganggurannya nomor tiga terbesar, dan kita juga tiga besar wilayah miskin di Indonesia,” katanya.
Menurutnya, Aceh sekarang terjebak pada diskusi-diskusi yang tidak berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat dan itu menjadi masalah. “Kalau pendidikan kita terburuk nomor tiga di Indonesia, bagaimana kita mau membangun generasi yang bagus,” katanya.
Koordinator Kontras Aceh, Destika Gilang Lestari mengatakan, selain masalah lambang, bendera, himne, dan kesejahteraan, isi MoU Helsinki yang juga penting diperhatikan adalah soal keamanan, termasuk kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat. “Kami melihat Pemerintahan Aceh belum serius menangani kasus-kasus yang terjadi di Aceh, tapi lebih fokus pada hal-hal seperti lambang, bendera, dan himne yang menurut saya itu tak penting untuk saat ini,” katanya.
Sementara Anggota DPRA, Abdullah Saleh, mengatakan, isu bendera dan lambang Aceh yang muncul di tengah perjalanan delapan tahun MoU Helsinki bukan sebagai polemik. Soal apa yang sudah diterima rakyat Aceh selama delapan tahun MoU Helsinki, Abdullah Saleh mengatakan hal itu harus kembali melihat kepada butir-butir MoU. Menurutnya, kondisi Aceh saat ini sudah jauh lebih baik dibanding pada masa konflik.
“Soal perlindungan perempuan, kita (DPRA-red) pada tahun 2008 telah menyelesaikan qanun tentang perempuan dan perlindungan anak. Terkait pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi yang seakan-akan Pemerintah Aceh dan DPRA lebih mementingkan bendera dari kesejahteraan rakyat, ia menegaskan sebenarnya kedua hal tersebut bisa dicapai secara bersama-sama.(sr)
Terkait #MoU Helsinki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar